Buletin At-Tauhid edisi 44 Tahun XI
Telah diketahui bahwa tujuan utama penciptaan kita di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Dan sangat penting untuk diketahui bahwa ibadah yang kita lakukan akan menjadi sia-sia apabila tercampur dengan kemusyrikan. Apabila suatu ibadah bercampur dengan kemusyrikan, maka ibadah kita tidak akan diterima. Oleh karena itu, barangsiapa yang beribadah kepada selain Allah Ta’ala –di samping juga beribadah kepada Allah Ta’ala–, maka ibadahnya kepada Allah Ta’ala adalah ibadah yang batil. Karena suatu ibadah tidaklah bermanfaat bagi pelakunya kecuali jika disertai dengan keikhlasan dan tauhid. Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar [39]: 65). Di dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am [6]: 88)
Untuk lebih mendekatkan pemahaman kita tentang hal ini, Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah membuat suatu ilustrasi tentang kedudukan tauhid dan ikhlas dalam beribadah. Beliau rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah, sesungguhnya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali dengan tauhid (yaitu memurnikan ibadah kepada Allah semata, pen.). Sebagaimana shalat tidaklah disebut sebagai shalat kecuali dalam keadaan bersuci (thaharah). Apabila ibadah tersebut dimasuki syirik, maka ibadah itu batal. Sebagaimana hadats yang masuk dalam thaharah.” (Syarh Al-Qowa’idul Arba’, hal. 14).
Dari ilustrasi yang beliau sampaikan tersebut, jelaslah bahwa ibadah kita tidak akan diterima kecuali dengan tauhid. Hal itu sebagaimana ibadah shalat dengan bersuci (thaharah). Tauhid adalah syarat diterimanya ibadah, sebagaimana bersuci adalah syarat sah ibadah shalat. Sebagaimana shalat tidak sah jika tidak dalam kondisi suci, demikian pula ibadah kita tidak akan sah jika hati kita tidak bersih dari kesyirikan, meskipun di dahinya terdapat tanda bekas sujud, berpuasa di siang hari, atau rajin shalat malam. Karena semua ibadah tersebut syaratnya adalah ikhlas dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Apabila terdapat satu saja dari ibadah tersebut yang dicampuri dengan kemusyrikan, maka seluruh ibadah yang pernah dia lakukan akan batal dan hilanglah pahalanya.
Oleh karena itu, di dalam banyak ayat Allah Ta’ala mengumpulkan antara perintah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dengan perintah untuk menjauhi perbuatan syirik. Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (QS. An-Nisa’ [4]: 36). Allah Ta’ala juga berfirman (artinya), “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5). Ketika Allah Ta’ala melarang kita untuk berbuat syirik, maka hal itu menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak ridha disekutukan dengan apa pun dalam beribadah kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman (artinya), ’Aku tidaklah butuh adanya tandingan-tandingan. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal dalam keadaan menyekutukan Aku dengan selain Aku, maka Aku akan meninggalkan dia dan perbuatan syiriknya itu.’” (HR. Muslim).
Oleh karena itu, apabila ada sekelompok masyarakat yang rajin shalat, rajin puasa, bersyahadat laa ilaaha illallah Muhammad rasulullah, dan berhaji ke baitullah, namun di sisi lain mereka juga berdoa meminta kepada penghuni kubur, meminta kepada “Wali Songo” yang sudah meninggal, maka semua ibadahnya itu sia-sia semata. Hal ini karena mereka menyekutukan Allah Ta’ala, mereka mengotori ibadah mereka dengan perbuatan syirik. Semua amalnya adalah amal yang batil, sampai dia bertaubat, mentauhidkan Allah Ta’ala dalam ibadah, dan mengikhlaskan ibadahnya hanya kepada Allah Ta’ala semata.
Allah Ta’ala tidak akan pernah ridha dengan kemusyrikan, meskipun yang dijadikan sebagai sekutu itu adalah malaikat yang paling mulia –yaitu Jibril ‘alaihis salaam- atau salah seorang Nabi yang diutus, seperti Muhammad, ‘Isa, Nuh, Ibrahim, dan selainnya. Lalu, bagaimana lagi jika yang dijadikan sebagai sekutu itu adalah selain malaikat dan para nabi, seperti wali dan orang shalih yang kedudukannya tentu sangat jauh di bawah mereka? Tentu Allah Ta’ala lebih tidak ridha lagi dengan perbuatan tersebut. Maka hal ini adalah bantahan atas anggapan sebagian orang yang menganggap bahwa syirik itu baru disebut sebagai syirik jika yang disembah adalah batu, pohon, patung, dan sejenisnya. Adapun jika yang disembah adalah malaikat, nabi, atau orang shalih, maka hal itu bukan syirik. Anggapan semacam ini adalah anggapan yang tidak benar. Dan di antara dalil yang menunjukkan atas batilnya anggapan tersebut adalah firman Allah Ta’ala (artinya),
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al-jin [72]: 18).
Kata “ahadan” dalam ayat di atas adalah isim nakiroh (kata benda indefinitif) yang berada dalam konteks nahi (larangan), yaitu kalimat “Janganlah kamu menyembah”. Menurut kaidah ilmu ushul fiqh, hal ini mengandung makna yang bersifat umum, mencakup seluruh jenis sekutu, tidak ada pengecualian di dalamnya sedikit pun. Maksudnya, Allah Ta’ala melarang untuk menujukan ibadah kepada selain Allah Ta’ala, siapa pun dia. Baik malaikat yang paling dekat dan paling mulia di sisi Allah Ta’ala, seorang nabi, berhala, kubur, wali, orang shalih, baik orang tersebut masih hidup maupun sudah meninggal dunia. Oleh karena itu, perbuatan syirik tetaplah disebut syirik meskipun yang disembah adalah malaikat, nabi, atau wali dan orang shalih. Semoga Allah Ta’ala melindungi dan menjauhkan kita dari perbuatan syirik.
Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Artikel Muslim.or.id
Ziyadah
Rahasia di Balik Sakit
Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian, bahkan cobaan dan ujian merupakan sunatullah dalam kehidupan. Manusia akan diuji dalam kehidupannya baik dengan perkara yang tidak disukainya atau bisa pula dengan perkara yang menyenangkannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. al-Anbiyaa’: 35). Sahabat Ibnu ‘Abbas -yang diberi keluasan ilmu dalam tafsir al-Qur’an- menafsirkan ayat ini: “Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan.” (Tafsir Ibnu Jarir). Dari ayat ini, kita tahu bahwa berbagai macam penyakit juga merupakan bagian dari cobaan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Namun di balik cobaan ini, terdapat berbagai rahasia/hikmah yang tidak dapat di nalar oleh akal manusia.
Sakit menjadi kebaikan bagi seorang muslim jika dia bersabar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan, dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika dia mendapat kegembiraan, maka dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya, dan jika mendapat kesusahan, maka dia bersabar dan ini merupakan kebaikan baginya”. (HR. Muslim)
Sakit akan menghapuskan dosa
Ketahuilah wahai saudaraku, penyakit merupakan sebab pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang pernah engkau lakukan dengan hati, pendengaran, penglihatan, lisan dan dengan seluruh anggota tubuhmu. Terkadang penyakit itu juga merupakan hukuman dari dosa yang pernah dilakukan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (artinya), “Dan apa saja musibah yang menimpamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. asy-Syuura: 30). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengannya dosa-dosanya” (HR. Muslim)
Sakit akan Membawa Keselamatan dari api neraka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ” Janganlah kamu mencaci maki penyakit demam, karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan mengahapuskan dosa-dosa anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi” (HR. Muslim). Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang mukmin mencaci maki penyakit yang dideritanya, menggerutu, apalagi sampai berburuk sangka pada Allah dengan musibah sakit yang dideritanya. Bergembiralah wahai saudaraku, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin dari api Neraka.” (HR. Al Bazzar, shahih).
Sakit akan mengingatkan hamba atas kelalaiannya
Wahai saudaraku, sesungguhnya di balik penyakit dan musibah akan mengembalikan seorang hamba yang tadinya jauh dari mengingat Allah agar kembali kepada-Nya. Biasanya seseorang yang dalam keadaan sehat wal ‘afiat suka tenggelam dalam perbuatan maksiat dan mengikuti hawa nafsunya, dia sibuk dengan urusan dunia dan melalaikan Rabb-nya. Oleh karena itu, jika Allah mencobanya dengan suatu penyakit atau musibah, dia baru merasakan kelemahan, kehinaan, dan ketidakmampuan di hadapan Rabb-nya. Dia menjadi ingat atas kelalaiannya selama ini, sehingga ia kembali pada Allah dengan penyesalan dan kepasrahan diri. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri” (QS. al-An’am: 42) Yaitu supaya mereka mau tunduk kepada-Ku, memurnikan ibadah kepada-Ku, dan hanya mencintai-Ku, bukan mencintai selain-Ku, dengan cara taat dan pasrah kepada-Ku. (Tafsir Ibnu Jarir).
Terdapat hikmah yang banyak di balik berbagai musibah
Wahai saudaraku, ketahuilah di balik cobaan berupa penyakit dan berbagai kesulitan lainnya, sesungguhnya di balik itu semua terdapat hikmah yang sangat banyak. Maka perhatikanlah saudaraku nasehat Ibnul Qoyyim rahimahullah berikut ini: “Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah (yang dapat kita gali, -ed). Namun akal kita sangatlah terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia di bawah sinar matahari.” (Lihat Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qodir Jawas)
Ingatlah saudaraku, cobaan dan penyakit merupakan tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala jika mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberi mereka cobaan.” (HR. Tirmidzi, shahih). Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami keyakinan dan kesabaran yang akan meringankan segala musibah dunia ini. Amin.
Penulis: Abu Hasan Putra, ST (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Artikel Muslim.or.id
Muroja’ah : Ust. Abu Salman, BIS